Pages

Saturday 22 April 2017

Menilik Kembali Sistem Pendidikan Tinggi Di Indonesia.

Pendidikan merupakan sebuah proses penyadaran manusia tentang betapa pentingnya dia hidup. Kalimat tersebut cukup untuk mengambarkan bagaimana pentingnya sebuah pendidikan. Pendidikan yang semulanya hanya dikerjakan pada waktu senggang atau waktu luang, hingga menjadi suatu kewajiban yang harus dilakukan seseorang dengan sekelumit aturan di dalamnya. Indonesia misalnya, pengambaran pendidikan hari ini masih jauh dari kata memanusiakan manusia. Hal ini karena banyaknya permasalahan yang ada dan pemerintah masih terus bekerja untuk menuntaskannya.

Sistem pendidikan Menurut Undang-Undang Pendidikan Tinggi No.20 Tahun 2003 mengatur berbagai macam tingkatan, dan jenjang terakhir ialah Pendidikan Tinggi. Pendidikan Tinggi yang merupakan jenjang terakhir dari sistem pendidikan formal yang dipakai di Indonesia mempunyai aturan dan mekanismenya sendiri. Hal ini diatur dalam Undang-Undang No. 12 Tahun 2012 Tentang Pendidikan Tinggi (UUPT).

Hingga hari ini Pendidikan Tinggi pun menuai banyak masalah. Sejarah menjelaskan bahwa aturan main mengenai Pendidikan Tinggi sebelumnya diatur dalam Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2009 Tentang Badan Hukum Pendidikan (UU BHP) yang kemudian dicabut pada tahun 2010 oleh Mahkamah Konstitusi. Karena dalam praktiknya, UU BHP mendapat kecaman banyak kalangan mengingat pokok isinya dianggap sebagai upaya lepas tangan pemerintah dalam pembiayaan pendidikan. Pemerintah dapat secara legal memberikan kewenangan kepada institusi pendidikan untuk mengelola dana secara otonom.

Sejak UU BHP dicabut maka pada tahun 2012 disahkannya Undang-Undang No. 20 Tahun 2012 Tentang Pendidikan Tinggi (UUPT) yang diharapkan mampu mengatasi permasalahan yang timbul dan menjadi solusi agar Pendidikan Tinggi  bisa diakses oleh seluruh rakyat. Hal yang menarik dari hadirnya aturan ini ialah mengenai sistem pengelolaan kampus, karena beberapa pasal dalam UU PT masih mengakomodasi pasal-pasal dalam UU BHP, hanya dengan perubahan kalimat, seperti pembentukan badan hukum (pendidikan tinggi), badan usaha,  penerimaan mahasiswa baru dengan jalur lain di luar seleksi bersama, dan penerapan kontrak kerja dosen. Hal ini meyakini bahwa pengesahan RUU PT hanya melegitimasi praktek-praktek komersialisasi pendidikan yang selama ini diperankan oleh PT BHMN. Dengan dalih otonomi kampus, PT BHMN memiliki kebebasan menerima mahasiswa melalui jalur mandiri yang mahal itu.

Tidak sampai disitu saja permasalahan yang hadir, munculnya lagi sebuah sistem pembayaran baru yang disebut Uang Kuliah Tunggal (UKT) yang menurut Menteri Pendidikan Muhammad Nuh kala itu menjadi solusi untuk menggantikan sistem sebelumnya yakni Sumbangan Pembinaan Pendidikan (SPP). Dengan menerbitkan Surat Edaran Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi (Dirjen Dikti) Nomor: 97/E/KU/2013 tanggal 5 Februari 2013 yang didalamnya terdapat instruksi dari DIKTI kepada Perguruan Tinggi Negeri yang ada di Indonesia untuk:
1. Menghapuskan uang pangkal bagi mahasiswa baru S1 Reguler Tahun Akademik 2013/2014.
2. Menetapkan dan melaksanakan Tarif Uang Kuliah Tunggal bagi mahasiswa baru program S1 reguler Mulai Tahun Akademik 2013/2014.

                         Baca Juga : Mencermati Uang Kuliah Tunggal (UKT)

Dengan adanya system UKT ini, mahasiswa hanya membayarkan sekali saja setiap semesternya. Karena komponen dari UKT itu sudah mencakupi segala yang menjadi kebutuhan mahasiswa untuk menjalankan rutinitasnya. Sistem UKT kemudian diatur lebih lanjut dalam Peraturan Menteri No. 55 Tahun 2013 dan No. 73 Tahun 2014. Dalam aturan ini masih memiliki semangat yang diwariskan oleh Muhammad Nuh yakni tidak ada pungutan selain pembayaran UKT.

Namun, pada aturan Permenristekdikti No.22 Tahun 2015 semangat itu kian pudar, dibuktikan pada Pasal 9 Ayat 1 diterangkan Bahwa Perguruan Tinggi Negeri (PTN) dapat memungut uang pangkal dan/atau pungutan lain di luar UKT dari mahasiswa baru yang terdiri atas mahasiswa asing, mahasiswa kelas internasional, mahasiswa melalui jalur kerjasama, mahasiswa jalur mandiri. Padahal pasal 8 menjelaskan tentang Larangan PTN memungut uang pangkal dan/atau pungutan lain selain UKT dari mahasiswa baru.

Lebih parahnya lagi pada Permenristekdikti No. 39 tahun 2016 pada pasal 9 diterangkan bahwa PTN tidak menanggung biaya mahasiswa yang terdiri atas salah satunya adalah biaya pelaksanaan Kuliah Kerja Nyata (KKN). Bagaimana mungkin KKN yang masuk dalam bagian Tridharma Perguruan Tinggi yakni Pengabdian Kepada Masyarakat tidak lagi masuk dalam komponen pembiayaan UKT.

Sejak permberlakuan UKT yang sekarang akan memasuki tahun kelima kini menuai persoalan baru, yakni masihkah Mahasiswa yang memasuki tahun kelima (semester 9) akan dibebankan UKT? Karena jelas bahwa mekanisme perhitungan UKT adalah unit cost pendidikan yang dihitung oleh Universitas dengan estimasi bahwa mahasiswa akan lulus dalam 8 semester untuk program sarjana dan 6 semester untuk program diploma. Hal ini perlu peninjauan kembali oleh pihak PTN terhadap UKT. Hal ini berdasarkan Pasal 40 jo Pasal 41 Permenristekdikti Nomor 44 Tahun 2015 tentang Standar Nasional Pendidikan Tinggi “Perguruan Tinggi mempunyai kewajiban untuk mengevaluasi standar satuan biaya operasional tiap akhir tahun anggaran”.

Perlu juga diketahui ketika mahasiswa yang memasuki semester 9 masih dibebankan biaya seperti sebelumnya maka jelas bahwa kampus tersebut akan mendapatkan surpluss dana dari mahasiswa dan hal ini bertentang dengan prinsip yang ada pada UU PT yakni: 1. Akuntabilitas, 2. Transparansi, 3. Nirlaba, 4. Penjaminan Mutu dan 5. Efektifitas dan Efisiensi. Olehnya itu, pembebanan UKT yang tanpa melalui evaluasi terhadap mahasiswa semester sembilan adalah suatu pelanggaran.

Referensi:
UU Sisdiknas No. 20 Tahun 2003
UU BHP No. 9 Tahun 2009
UU PT No. 12 Tahun 2012
Surat Edaran Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi (Dirjen Dikti) Nomor: 97/E/KU/2013
Permendikbud No. 55 Tahu 2013
Permendikbud No. 73 Tahun 2014
Permenristekdikti No. 22 Tahun 2015
Permenristekdikti No. 39 Tahun 2016