Pendidikan
merupakan sebuah proses penyadaran manusia tentang betapa pentingnya dia hidup.
Kalimat tersebut cukup untuk mengambarkan bagaimana pentingnya sebuah
pendidikan. Pendidikan yang semulanya hanya dikerjakan pada waktu senggang atau
waktu luang, hingga menjadi suatu kewajiban yang harus dilakukan seseorang dengan sekelumit aturan di dalamnya.
Indonesia misalnya, pengambaran pendidikan hari ini masih jauh dari kata
memanusiakan manusia. Hal ini karena banyaknya permasalahan yang ada dan
pemerintah masih terus bekerja untuk menuntaskannya.
Sistem
pendidikan Menurut Undang-Undang Pendidikan Tinggi No.20 Tahun 2003 mengatur
berbagai macam tingkatan, dan jenjang terakhir ialah Pendidikan Tinggi.
Pendidikan Tinggi yang merupakan jenjang terakhir dari sistem pendidikan formal
yang dipakai di Indonesia mempunyai aturan dan mekanismenya sendiri. Hal ini
diatur dalam Undang-Undang No. 12 Tahun 2012 Tentang Pendidikan Tinggi (UUPT).
Hingga
hari ini Pendidikan Tinggi pun menuai banyak masalah. Sejarah menjelaskan bahwa
aturan main mengenai Pendidikan Tinggi sebelumnya diatur dalam Undang-Undang
Nomor 9 Tahun 2009 Tentang Badan Hukum Pendidikan (UU BHP) yang kemudian dicabut pada tahun 2010 oleh Mahkamah
Konstitusi. Karena dalam praktiknya, UU BHP mendapat kecaman banyak kalangan
mengingat pokok isinya dianggap sebagai upaya lepas tangan pemerintah dalam
pembiayaan pendidikan. Pemerintah dapat secara legal memberikan kewenangan
kepada institusi pendidikan untuk mengelola dana secara otonom.
Sejak UU BHP dicabut maka pada tahun 2012 disahkannya Undang-Undang No. 20 Tahun
2012 Tentang Pendidikan Tinggi (UUPT) yang diharapkan mampu mengatasi
permasalahan yang timbul dan menjadi solusi agar Pendidikan Tinggi bisa diakses oleh seluruh rakyat. Hal yang
menarik dari hadirnya aturan ini ialah mengenai sistem pengelolaan kampus,
karena beberapa pasal dalam UU PT masih mengakomodasi pasal-pasal dalam UU BHP,
hanya dengan perubahan kalimat, seperti pembentukan badan hukum (pendidikan
tinggi), badan usaha, penerimaan
mahasiswa baru dengan jalur lain di luar seleksi bersama, dan penerapan kontrak
kerja dosen. Hal ini meyakini bahwa pengesahan RUU PT hanya melegitimasi
praktek-praktek komersialisasi pendidikan yang selama ini diperankan oleh PT
BHMN. Dengan dalih otonomi kampus, PT BHMN memiliki kebebasan menerima
mahasiswa melalui jalur mandiri yang mahal itu.
Tidak
sampai disitu saja permasalahan yang hadir, munculnya lagi sebuah sistem
pembayaran baru yang disebut Uang Kuliah Tunggal (UKT) yang menurut Menteri
Pendidikan Muhammad Nuh kala itu menjadi solusi untuk menggantikan sistem sebelumnya yakni Sumbangan Pembinaan Pendidikan (SPP). Dengan menerbitkan Surat Edaran
Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi (Dirjen Dikti) Nomor: 97/E/KU/2013 tanggal
5 Februari 2013 yang didalamnya terdapat instruksi dari DIKTI kepada Perguruan
Tinggi Negeri yang ada di Indonesia untuk:
1. Menghapuskan uang pangkal bagi
mahasiswa baru S1 Reguler Tahun Akademik 2013/2014.
2. Menetapkan dan melaksanakan Tarif
Uang Kuliah Tunggal bagi mahasiswa baru program S1 reguler Mulai Tahun Akademik
2013/2014.
Baca Juga : Mencermati Uang Kuliah Tunggal (UKT)
Baca Juga : Mencermati Uang Kuliah Tunggal (UKT)
Dengan
adanya system UKT ini, mahasiswa hanya membayarkan sekali saja setiap
semesternya. Karena komponen dari UKT itu sudah mencakupi segala yang menjadi
kebutuhan mahasiswa untuk menjalankan rutinitasnya. Sistem UKT kemudian diatur
lebih lanjut dalam Peraturan Menteri No. 55 Tahun 2013 dan No. 73 Tahun 2014.
Dalam aturan ini masih memiliki semangat yang diwariskan oleh Muhammad Nuh
yakni tidak ada pungutan selain pembayaran UKT.
Namun,
pada aturan Permenristekdikti No.22 Tahun 2015 semangat itu kian pudar,
dibuktikan pada Pasal 9 Ayat 1 diterangkan Bahwa Perguruan Tinggi Negeri (PTN)
dapat memungut uang pangkal dan/atau pungutan lain di luar UKT dari mahasiswa
baru yang terdiri atas mahasiswa asing, mahasiswa kelas internasional,
mahasiswa melalui jalur kerjasama, mahasiswa jalur mandiri. Padahal pasal 8
menjelaskan tentang Larangan PTN memungut uang pangkal dan/atau pungutan lain
selain UKT dari mahasiswa baru.
Lebih
parahnya lagi pada Permenristekdikti No. 39 tahun 2016 pada pasal 9 diterangkan
bahwa PTN tidak menanggung biaya mahasiswa yang terdiri atas salah satunya
adalah biaya pelaksanaan Kuliah Kerja Nyata (KKN). Bagaimana mungkin KKN yang
masuk dalam bagian Tridharma Perguruan Tinggi yakni Pengabdian Kepada
Masyarakat tidak lagi masuk dalam komponen pembiayaan UKT.
Sejak
permberlakuan UKT yang sekarang akan memasuki tahun kelima kini menuai persoalan baru, yakni
masihkah Mahasiswa yang memasuki tahun kelima (semester 9) akan dibebankan UKT?
Karena jelas bahwa mekanisme perhitungan UKT adalah unit cost pendidikan yang
dihitung oleh Universitas dengan estimasi bahwa mahasiswa akan lulus dalam 8
semester untuk program sarjana dan 6 semester untuk program diploma. Hal ini
perlu peninjauan kembali oleh pihak PTN terhadap UKT. Hal ini berdasarkan Pasal
40 jo Pasal 41 Permenristekdikti Nomor 44 Tahun 2015 tentang Standar Nasional
Pendidikan Tinggi “Perguruan Tinggi mempunyai kewajiban untuk mengevaluasi
standar satuan biaya operasional tiap akhir tahun anggaran”.
Perlu
juga diketahui ketika mahasiswa yang memasuki semester 9 masih dibebankan biaya
seperti sebelumnya maka jelas bahwa kampus tersebut akan mendapatkan surpluss
dana dari mahasiswa dan hal ini bertentang dengan prinsip yang ada pada UU PT
yakni: 1. Akuntabilitas, 2. Transparansi, 3. Nirlaba, 4. Penjaminan Mutu dan 5.
Efektifitas dan Efisiensi. Olehnya itu, pembebanan UKT yang tanpa melalui
evaluasi terhadap mahasiswa semester sembilan adalah suatu pelanggaran.
Referensi:
UU
Sisdiknas No. 20 Tahun 2003
UU
BHP No. 9 Tahun 2009
UU
PT No. 12 Tahun 2012
Surat
Edaran Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi (Dirjen Dikti) Nomor: 97/E/KU/2013
Permendikbud
No. 55 Tahu 2013
Permendikbud
No. 73 Tahun 2014
Permenristekdikti
No. 22 Tahun 2015
Permenristekdikti
No. 39 Tahun 2016
No comments:
Post a Comment